Baik dan buruk setiap manusia adalah anugerah kepada manusia itu sendiri.” Kira-kira itu yang diucapkan Sudarsana saat pertama kali menghadapi anak semata wayangnya terlihat gelisah karena diberikan tanggung jawab besar untuk memimpin perkumpulan supporter SMA Cakra Buana yang terkenal bermasalah di Bandung. Pemuda itu tak pindah dari tempatnya, masih setia memeluk perut sang mama dengan erat, sesekali ia merengek seperti bocah berumur lima tahun. la tak berniat menjelaskan apa pun, hanya tiba-tiba datang dan memeluk sang mama begitu saja. Sebenarnya tak ada masalah, pemuda itu bisa saja menyetujui hal tersebut dan menerimanya dengan senang hati.

Namun, otaknya tak henti berpikir keras tentang bagaimana ia akan memimpin kelompok pemuda yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat warga sekitar, ditambah tahun sebelumnya kelompok ini sempat muncul di TV Nasional karena membuat keributan yang cukup meresahkan.
la tak mau mengorbankan diri dan menjadi sorotan karena tiba-tiba maju sebagai ketua kelompok untuk menggantikan ketua sebelumnya , sebab yang telah lulus menjabat. la tidak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya untuk beberapa semester ke depan.

“Udah terima aja, keren lho kalau kamu jadi ketua geng” Sudarsana buka suara. Dengan satu kaki terangkat ke kursi dan tangan yang membuka lebar selebaran surat kabar, laki-laki paruh baya itu membuat anaknya menghela napas sebal. Ini ULTRAS, bukan geng motor, Papah!” Teriaknya mengoreksi ucapan Papanya. “ULTRAS-nya Cakra Buana tuh problematic!” Ya terus apa bedanya sama kamu? Kayak kamu nggak bermasalah aja. Di rumah ini tuh kamu yang paling problematic, tau?” Ucap Sudarsana membuat lelaki berusia delapan belas tahun itu terdiam. Jawaban pedas sang papa membuat pemuda itu bangkit. Lalu dengan wajah masamnya ia memilih menaiki tangga memasuki kamarnya di lantai. la melemparkan tubuhnya ke atas kasur, mengingat kembali bagaimana chaos-nya kejadian beberapa jam lalu.