“Devan, Revolver angkatan tiga bikin onar di sekolah. Sekarang mereka mau dibubarin sama Kepala Sekolah.” Mendengar laporan tersebut, lelaki bertubuh atletis yang mengenakan kaus putih itu nyaris tersedak air yang sedang diminumnya. Orang Orang yang lewat di sekitar lapangan basket ikut menoleh. “Gue kan udah bilang, nggak usah ikut tawuran lagi. Kenapa masih pada ngeyel, sih?” “Bukan mereka yang mulai, tapi anak Azeroth yang serang mereka duluan,” jelas Gio seraya menunjukkan ponselnya. “Coba lihat ini.”

Devan menyerahkan botolnya pada Yutha yang

juga baru selesai main basket. la perhatikan baik-baik layar ponsel milik Gio.

Sungguh, Devan sudah lama sekali ingin menghindari tawuran, balapan, atau hal-hal negatif dan tidak berguna seperti ini. Lebih tepatnya; dia sudah insaf. Tapi disisi lain dia juga sudah terlanjur membentuk Geng Revolver angkatan tiga yang ternyata malah menimbulkan masalah baru lagi. Devan tidak bisa lepas tangan begitu saja. Biar bagaimanapun Devan sebagai ketua harus bertanggung jawab.

Di tengah kegundahan itu, Devan merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Cowok berambut blonde dengan tatapan teduh menenangkannya. Rey, sang Wakil Ketua Revolver.

“Biar gue yang urus. Gue OTW ke markas mereka sebentar lagi.”

Alis tebal Devan bertaut. “Bukannya lo ada urusan?” “Gampang. Urusan gue nggak ada apa-apanya dibanding urusan lo. Udah sana, kerjain tugas makalah,” suruh Rey seraya menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

“Thanks, Rey.”

Ketika Rey berlalu ke parkiran kampus, Devan menepi di tribune untuk rehat sejenak. Ia menghela napas berat.