Ia adalah wujud nyata seorang bidadari, ia memiliki hati yang lembut dan tak ada bandingnya. la bisa memberikan seluruh cinta kasihnya kepada setiap yang bernyawa di dunia ini. Engkau tak akan terganti, sampai kapanpun tak akan pernah terganti. Dengan pidato ini, aku antar engkau, ke tempat peristirahatanmu yang terakhir. Aku sangat merindukanmu, Ma.”

Rey menutup pidatonya pada upacara pemakaman sang Ibu yang digelar dalam adat Jepang itu. Rey menyeka sedikit air matanya yang hampir menetes dari pelupuk mata dan berusaha menyembunyikan kesedihannya di siang hari yang tidak terlalu terik itu. Seluruh keluarga Rey berada di barisan paling depan dalam upacara pemakaman. Mereka duduk dengan gagah mengenakan tuksedo serba hitam yang tersemat pin keanggotaan dari sebuah aliansi besar di dada sebelah kiri sambil menunduk dan sesekali membuang pandangan ke luar dari jendela rumah pemakaman.

Sebagai anak bungsu, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya, ia tidak mau dianggap lemah oleh kakak-kakaknya, padahal hatinya sangat remuk. Ia merasakan sesak yang teramat di dadanya seperti sedang menyelam di lautan yang dalam. Ia merasa sangat hancur dan hari-harinya tidak akan pernah sama lagi tanpa kehadiran sang Ibu yang tercinta.

Rey adalah anak laki-laki terakhir dari tiga bersaudara, memiliki dua orang kakak kembar yang sangat dekat dengan ayahnya.