seorang gadis kecil berhijab, memakai seragam putih merah, sudah yang berhadapan langsung dengan gerbang sekolah. Gerbang berwarna putih yang sudah karatan itu membuat Pak Budi susah membuka grendelnya untuk orang tua para murid yang sudah mulai berdatangan.

Gadis kecil itu adalah Adiba Shakila Atmarini. Dia memperhatikan para orang tua murid yang datang dengan memakai baju terbaiknya. Ada yang datang dengan mobil, ada yang datang dengan motor, dan ada yang datang dengan angkutan umum.

Adiba memandang sekitar mencari sosok yang dari tadi dia tunggu tunggu. Namun, yang dia lihat hanya teman-temannya yang datang bersama orang tuanya sambil bergandengan tangan dan ada juga yang datang terpisah.

Suara mikrofon pemberitahuan kepada semua murid dan orang tua pun terdengar. Pertanda meminta semuanya untuk berkumpul di lapangan sekolah. Adiba tetap diam di tempatnya, menatap khawatir ke arah gerbang dengan harapan yang sama, yaitu kedatangan Mbah Lanang.

“Ayah… Ayah di mana? Apa Ayah nggak kangen sama Adiba? Adiba di sini udah jadi dokter hebat, Yah… Kenapa Ayah masih nggak mau ketemu sama Adiba?”
-Adiba Shakila Atmarini
Sejak kecil, Adiba tidak tau bagaimana rasanya dicintai oleh lelaki yang biasa disebut oleh teman-temannya dengan kata ‘Ayah’. Sebab, ayah Adiba sudah pergi meninggalkan rumahnya dan membiarkan Adiba besar hanya dengan kasih sayang dari Mbah Putri dan Mbah Lanang.
Statusnya yang tidak memiliki sosok ayah jelas saja membuat Adiba menjadi berbeda dari yang lain. Dirinya dirisak, dikucilkan, dan disebut sebagai anak haram oleh lingkungan sekitarnya. Perilaku tidak adil yang dirinya dapatkan mendorong Adiba untuk berusaha lebih keras lagi agar membayar segala makian itu dengan sebuah prestasi, pun… mungkin dengan kesuksesannya menjadi seorang dokter bisa menjadi batu loncatan untuknya bisa bertemu dengan sang ayah yang selalu dirindukannya.
Namun, apakah Adiba dapat bertemu dengan ayahnya? Atau, ajal lebih dulu menjemput sebelum mereka benar-benar bisa bersama?